Senin, 01 Juni 2009

Taliban Pergi, Pakistan Di Ambang Jatuh Ke Tangan Asing

Pakistan, sebuah negara yang identik dengan kekacauan politik, kudeta militer dan keresahan sosial, berada dalam ambang masa kritis saat ini. Setelah memerangi Taliban dari kota-kota di wilayahnya, seperti Buner dan Swat, sebuah pertanyaan menyeruak: berikutnya apa? Ya, apa lagi kemudian?


Swat dan Valley telah berubah menjadi daerah tribal karena taktik militer hit and run (hantam kemudian kabur). Taliban yang digambarkan oleh AS dan sekutunya demikian beringas dan kejam, nyata sudah tidak berbahaya bahkan bukan sesuatu yang menakutkan sama sekali. Kepergian Taliban dari daerah mereka meninggalkan kekosongan: kota yang mati, pendidikan yang lumpuh, dan iringan penduduk yang kocar-kacir tak menentu—sesuatu yang amat berbeda ketika Taliban menguasai kota-kota ini, ketika menghidupkan denyut nadi kota dan kehidupan di sana.

Kebingungan Pakistan diperparah dengan serangan antah-berantah di jantung militer negara itu di Punjab. Serangan ini memiliki dua makna. Satu, bahwa sebenarnya militer Pakistan bukanlah suatu kekuatan yang kokoh. Kedua, rakyat Pakistan tidak menyukai apa yang dilakukan oleh militer Pakistan selama ini, terutama kolaborasinya dengan militer AS dan sekutu. Bom-bom lain begitu mudahnya bermunculan di seantero Pakistan.

Sekarang ini begitu mudahnyanya melihat mood dari rakyat Pakistan. Barat telah dengan jelas melihat bahwa rakyat sebenarnya lebih memilih sebuah negara yang bersatu di bahwa kendali kelompok yang Barat sebut sebagai militan. Walau ini bukan keseluruhan gambaran, tapi setidaknya itulah suara rakyat Pakistan. Pemerintah Pakistan seperti yang tidak mempunyai strategi dan pemikiran yang jelas, karena sama sekali tidak memperhitungkan lebih dari dua juta orang telah menjalani eksodus masif akibat serangan militer yang membabi-buta. Bayangkan, di Buner, atau Swadi dan Mardan, satu rumah bisa ditempati oleh sekitar 37 orang.

Rakyat demikian marah, karena Peshawar tidak memberikan dukungan apapun. Di sisi lain, pemerintah mereka malah bertindak aneh dengan menyapu identitas rakyat, menutup sekolah untuk anak-anak perempuan, dan mengintimidasi penduduk. Ketika rakyat belajar sesuatu dari kependudukan sesaat Taliban di wilayahnya, pemerintahnya malah sibuk berkongsi dengan Soviet di Islamabad atau Kashmir. Rakyat sudah tidak percaya lagi bahwa tentara mereka akan melindungi mereka.

Ini adalah kali keempat terjadi. Setiap kali militer dan pemerintah berhasil mengusir Taliban, kelompok ini akan terus menjadi semakin kuat ketika kembali, karena dukungan rakyat.

Jika Pakistan terlalu lemah untuk melindungi rakyatnya sendiri dari kekuatan asing, inilah awal dari kejatuhan negeri ini secara langsung dan resmi, dengan tanpa kesadaran dunia internasional. Ancaman itu sama sekali bukan datang dari Taliban. Tapi dekat di Islamabad dan di dinding-dinding pemerintah Pakistan sendiri yang menjalin hubungan dengan siapa. (sa/grdn)
Baca Selengkapnya......

Sabtu, 30 Mei 2009

Download Buku Ilusi Negara Islam

Silakan download seluruh isi buku "Ilusi Negara Islam" berikut ini:

Cover-Buku

Preface-Prolog

Pengantar-Editor

Bab-1

Bab-2

Bab-3

Bab-4

Bab-5

Epilog

Lampiran-1

Lampiran-2

Daftar-Bibliografi

Buku "Ilusi Negara Islam" merupakan buku kontroversial dan sangat menyudutkan gerakan Islam yang ingin memperjuangkan Syariah Islam. Silakan baca buku ini untuk melihat kelemahan argumentasi kalangan liberal. Baca Selengkapnya......

Kamis, 28 Mei 2009

Hizbut Tahrir Indonesia Mengungkap Ilusi, Kebencian dan Provokasi Buku "Ilusi Negara Islam"

Syabab.Com - Buku "Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia", yang diluncurkan beberapa waktu lalu itu sebenarnya tidak layak dibaca apalagi ditanggapi. Meski diklaim sebagai karya ilmiah, dan konon merupakan hasil penelitian selama dua tahun, namun semuanya itu tidak bisa menutupi fakta, bahwa buku ini sangat tidak ilmiah dan jauh dari obyektivitas sebuah penelitian. Demikian ditegaskan oleh Hizbut Tahrir Indonesia dalam pernyataan sikapnya.


Alih-alih bersikap obyektif, buku ini justru dipenuhi dengan ilusi, kebencian dan provokasi penyusunnya. Jubir Hizbut Tahrir Indonesia Ismail Yusanto menegaskan, "Inilah yang mendorong kami untuk menanggapi buku ini, khususnya yang berkaitan dengan Hizbut Tahrir."

Beberapa tanggapan atas buku tersebut diantaranya:

Dari aspek metodologi: Pertama, dari sisi referensi: Buku ini sama sekali tidak menggunakan referensi utama (primer), yaitu buku-buku resmi Hizbut Tahrir. Satu-satunya referensi resmi yang digunakan adalah booklet Selamatkan Indonesia dengan Syariah, itu pun tampaknya hanya dicomot judulnya. Selebihnya, pandangan dan sikap penyusun buku tersebut tentang Hizbut Tahrir didasarkan pada kesimpulan-kesimpulan yang dibangun oleh Zeno Baran dalam bukunya, Hizb ut-Tahrir: Islam’s Political Insurgency (Washington: Nixon Center, 2004) dan Ed. Husain dalam bukunya, The Islamist (London: Penguin Books, 2007).

"Mereka tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, bahwa baik Zeno Baran yang berdarah Yahudi maupun Ed. Husain adalah sama-sama bukan orang yang ahli tentang Hizbut Tahrir. Ed. Husain yang diklaim sebagai salah seorang pimpinan Hizb terbukti bohong, yang memang sengaja dibangun untuk menunjukkan kredebilitas karyanya, yang sesungguhnya tidak kredibel," katanya Ismail.

Dari sini saja, lanjutnya lagi, sebenarnya cukup untuk membuktikan, bahwa buku Ilusi Negara Islam ini sebenarnya tidak ilmiah dan jauh dari obyektivitas. Karena itu, kesimpulan-kesimpulan yang dibangun di dalamnya tidak lebih dari ilusi penyusunnya. Bahkan, buku ini juga sangat narsis, karena kebencian dan provokasi yang ditaburkan di dalamnya mulai dari awal hingga akhir. Tampak jelas, bahwa buku ini disusun dengan target, bukan sekedar untuk mengemukakan pandangan, tetapi untuk memobilisasi perlawanan.

Kedua, cara menarik kongklusi: Kongklusi di dalam buku ini banyak ditarik dengan menggunakan analogi generalisasi (qiyas syumuli), sehingga menganggap semua kelompok dan organisasi yang nyata-nyata berbeda, seperti DDII, MMI, PKS dan HTI sebagai sama.

"Ini adalah bukti, bahwa buku ini tidak obyektif. Lebih-lebih ketika, sejak pertama kali, penyusun buku ini sudah melakukan monsterisasi terhadap Wahabi, kemudian mengeneralisasi bahwa semua organisasi Islam yang tidak sepaham denganya dicap Wahabi."

"Ini jelas merupakan kesalahan berpikir yang sangat fatal, dan kalau tujuannya untuk mengungkap kebenaran, maka cara-cara seperti ini tidak akan pernah menemukan kebenaran apapun."

Ketiga: inkonsistensi cara berpikir: Buku ini menyerang cara berpikir literalisme tertutup, tetapi pada saat yang sama penyusun buku ini menggunakan teks hadits, dengan makna literal, dan sangat tertutup, karena tidak mau melihat nas-nas yang lain. Seperti, Umirtu an uqatila an-nas hatta yaqulu la’ilaha illa-Llah (Aku diperintahkan untuk memerangi manusia, hingga mereka menyatakan la’ilaha illa-Llah), yang kemudian ditafsirkan, bahwa ini tidak berarti boleh memerangi orang Kafir, karena tidak ada penegasan tentang keyakinan akan kerasulan Muhammad saw.

Sementara itu dari aspek isi menurut Hizbut Tahrir Indonesia, buku ini menawarkan: Pertama, Islam yang toleran, tapi anehnya penyusunnya sendiri dengan sangat narsis tidak toleran dengan sesama Muslim, dengan terus-menerus menyerang mereka sebagai kaum literalis tertutup, dan stigma-stigma negatif lainnya. Di sisi lain, ketika mereka sendiri tidak bisa bersikap toleran terhadap kaum Muslim, mereka malah menyerukan toleransi terhadap kaum Kafir, dengan justifikasi bahwa mereka adalah Muslim juga. Malah, ayat dan hadits yang memerintahkan untuk memerangi mereka pun harus ditafsir ulang agar sejalan dengan maksud mereka. Jadi, nalar yang dibangun dalam buku ini jelas sekali, sangat tidak konsisten.

Kedua, perdamaian dan Islam yang damai, tapi penyusun buku ini justru menyulut bara api yang sudah padam, seperti sejarah kelam Khawarij dan Wahabi yang sudah dilupakan oleh kaum Muslim. Dalam kasus Wahabi, jelas sekali bahwa ini dimaksud untuk mengadudomba antara NU dan kelompok lain yang dicap Wahabi, karena generasi tua NU memiliki memori yang tidak baik terhadap Wahabi. Lalu, di mana wajah Islam damai yang mereka tawarkan? Cara-cara yang mereka lakukan ini persis seperti yang dilakukan oleh Syasy bin Qaisy, penyair Yahudi, yang mengingatkan kembali permusuhan antara suku Aus dan Khazraj dalam Perang Bu’ats. Kalau betul mereka menginginkan perdamaian, mestinya bisa bersikap seperti ‘Umar bin ‘Abdul Aziz ketika ditanya tentang Perang Shiffin, dengan tegas beliau menyatakan, “Ini adalah darah yang telah dibersihkan oleh Allah dari tanganku, maka aku tidak ingin membasahi lidahku dengannya lagi.”

Ketiga, ilusi, kebencian dan provokasi: Meski konon merupakan hasil penelitian, tetapi penyusun buku ini tidak bisa membedakan antara fakta dan ilusi. Sebagai karya ilmiah, seharusnya buku tersebut jauh dari kebencian, dan apalagi provokasi yang sangat narsis. Karena itu, isi buku ini akhirnya terjebak pada kepentingan sponsornya, dan sama sekali jauh dari obyektivitas ilmiah, lazimnya sebuah karya ilmiah.

Hizbut Tahrir Indonesia juga mengungkap dari aspek penyusun dan penerbitnya: Sebagaimana diakui oleh Abdurrahman Wahid, buku ini adalah hasil penelitian Lib-ForAll Foundation, sebuah LSM yang memperjuangkan terwujudkan kedamaian, kebebasan dan toleransi di seluruh dunia. Abdurrahman Wahid bersama C. Holland Taylor bertindak sebagai pendiri bersama, sementara bersama-sama KH A. Mustofa Bisri, Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, Por. Dr. M. Amin Abdullah, Prof. Dr. Azyumardi Azra, Porf. Dr. Nasr Hamid Abu-Zayd, Syeikh Musa Admani, Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, Dr. Sukardi Rinakit dan Romo Franz Magnis Suseno menjadi penasehat LSM tersebut.

"Mereka selama ini dikenal sebagai tokoh Liberal. Bersama sejumlah peneliti lapangan, mereka menyusun buku Ilusi Negara Islam ini, yang kemudian diterbitkan bersama oleh the Wahid Institute, Maarif Institute dan Gerakan Bhineka Tunggal Ika. Lib-ForAll Foundation sendiri bermarkas di AS, dan didirikan pasca peristiwa 11/9, dengan tujuan untuk memerangi apa yang mereka sebut Radikalisme Agama. Tokoh-tokoh Lib-ForAll Foundation di Indonesia juga mempunyai hubungan baik dengan Israel, dan sangat membela kepentingan entitas Yahudi itu. Sebaliknya, mereka selama ini dikenal bersikap sumir terhadap syariah, formalisasi syariah dan kelompok Islam yang memperjuangkan syariah."

Lebih lanjut, Ismail menyebutkan, "Adapun tuduhan terhadap Hizbut Tahrir sebagai kelompok yang membahayakan Indonesia, adalah sebuah kebohongan besar. Hizbut Tahrir dengan perjuangan syariah dan Khilafah justru bertujuan untuk menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan akibat Sekularisme, Liberalisme, Kapitalisme dan penjajahan modern di segala bidang."

"Sebaliknya, Liberalisme dan Sekularisme yang selama ini mereka propagandakan itulah yang telah nyata-nyata merusak dan menghancurkan Indonesia. Atas dasar Liberalisme pula, mereka mendukung aliran sesat (Ahmadiyah, Lia Eden, dll), legalisasi aborsi, menolak larangan pornografi dan pornoaksi, mendukung penjualan aset-aset strategis. Maka, merekalah yang sesungguhnya harus diwaspadai, karena mereka menghalangi upaya penyelamatan Indonesia dengan syariah, dengan tetap mempertahankan Sekularisme dan penjajahan asing di negeri ini." [f/htipress/syabab.com]
Baca Selengkapnya......

Neoliberalisme

Oleh : Revrisond Baswir

Tiba-tiba saja mencuat menjadi wacana hangat di tengah-tengah masyarakat. Pemicunya adalah munculnya nama Boediono sebagai calon wakil presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilihan presiden yang akan datang. Menurut para penentang mantan Gubernur Bank Indonesia tersebut, Boediono seorang ekonom yang menganut paham ekonomi neoliberal, sebab itu ia sangat berbahaya bagi masa depan perekonomian Indonesia.


Tulisan ini tidak bermaksud mengupas Boediono atau paham ekonomi yang dianutnya. Tujuan tulisan ini adalah untuk menguraikan pengertian, asal mula, dan perkembangan neoliberalisme secara singkat. Saya berharap, dengan memahami neoliberalisme secara benar, silang pendapat yang berkaitan dengan paham ekonomi ini dapat dihindarkan dari debat kusir. Sebaliknya, para ekonom yang jelas-jelas mengimani neoliberalisme, tidak secara mentah-mentah pula mengelak bahwa dirinya bukan seorang neoliberalis.

Sesuai dengan namanya, neoliberalisme adalah bentuk baru dari paham ekonomi pasar liberal. Sebagai salah satu varian dari kapitalisme yang terdiri dari merkantilisme, liberalisme, keynesianisme, neoliberalisme dan neokeynesianisme, neoliberalisme adalah sebuah upaya untuk mengoreksi kelemahan yang terdapat dalam liberalisme.

Sebagaimana diketahui, dalam paham ekonomi pasar liberal, pasar diyakini memiliki kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Karena pasar dapat mengurus dirinya sendiri, maka campur tangan negara dalam mengurus perekonomian tidak diperlukan sama sekali. Tetapi setelah perekonomian dunia terjerumus ke dalam depresi besar pada tahun 1930-an, kepercayaan terhadap paham ekonomi pasar liberal merosot secara drastis. Pasar ternyata tidak hanya tidak mampu mengurus dirinya sendiri, tetapi dapat menjadi sumber malapetaka bagi kemanusiaan. Depresi besar 1930-an tidak hanya ditandai oleh terjadinya kebangkrutan dan pengangguran massal, tetapi bermuara pada terjadinya Perang Dunia II.

Menyadari kelemahan ekonomi pasar liberal tersebut, pada September 1932, sejumlah ekonom Jerman yang dimotori oleh Rustow dan Eucken mengusulkan dilakukannya perbaikan terhadap paham ekonomi pasar, yaitu dengan memperkuat peranan negara sebagai pembuat peraturan. Dalam perkembangannya, gagasan Rostow dan Eucken diboyong ke Chicago dan dikembangkan lebih lanjut oleh Ropke dan Simon.

Sebagaimana dikemas dalam paket kebijakan ekonomi ordoliberalisme, inti kebijakan ekonomi pasar neoliberal adalah sebagai berikut: (1) tujuan utama ekonomi neoliberal adalah pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas-sempurna di pasar; (2) kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui dan (3) pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang (Giersch, 1961). Tetapi dalam konferensi moneter dan keuangan internasional yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Bretton Woods, Amerika Serikat (AS) pada 1944, yang diselenggarakan untuk mencari solusi terhadap kerentanan perekonomian dunia, konsep yang ditawarkan oleh para ekonom neoliberal tersebut tersisih oleh konsep negara kesejahteraan yang digagas oleh John Maynard Keynes.

Sebagaimana diketahui, dalam konsep negara kesejahteraan atau keynesianisme, peranan negara dalam perekonomian tidak dibatasi hanya sebagai pembuat peraturan, tetapi diperluas sehingga meliputi pula kewenangan untuk melakukan intervensi fiskal dan moneter, khususnya untuk menggerakkan sektor riil, menciptakan lapangan kerja dan menjamin stabilitas moneter. Terkait dengan penciptaan lapangan kerja, Keynes bahkan dengan tegas mengatakan: “Selama masih ada pengangguran, selama itu pula campur tangan negara dalam perekonomian tetap dibenarkan.”

Namun kedigdayaan keynesianisme tidak bertahan lama. Pada awal 1970-an, menyusul terpilihnya Reagen sebagai presiden AS dan Tatcher sebagai Perdana Menteri Inggris, neoliberalisme secara mengejutkan menemukan momentum untuk diterapkan secara luas. Di Amerika hal itu ditandai dengan dilakukannya pengurangan subsidi kesehatan secara besar-besaran, sedang di Inggris ditandai dengan dilakukannya privatisasi BUMN secara massal.

Selanjutnya, terkait dengan negara-negara sedang berkembang, penerapan neoliberalisme menemukan momentumnya pada akhir 1980-an. Menyusul terjadinya krisis moneter secara luas di negara-negara Amerika Latin. Departemen Keuangan AS bekerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF), merumuskan sebuah paket kebijakan ekonomi neoliberal yang dikenal sebagai paket kebijakan Konsensus Washington. Inti paket kebijakan Konsensus Washington yang menjadi menu dasar program penyesuaian struktural IMF tersebut adalah sebagai berikut: (1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk kebijakan penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor keuangan; (3) liberalisasi perdagangan; dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN.

Di Indonesia, pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara masif berlangsung setelah perekonomian Indonesia dilanda krisis moneter pada 1997/1998 lalu. Secara terinci hal itu dapat disimak dalam berbagai nota kesepahaman yang ditandatatangani pemerintah bersama IMF. Setelah berakhirnya keterlibatan langsung IMF pada 2006 lalu, pelaksanaan agenda-agenda tersebut selanjutnya dikawal oleh Bank Dunia, ADB dan USAID.

Menyimak uraian tersebut, secara singkat dapat disimpulkan, sebagai bentuk baru liberalisme, neoliberalisme pada dasarnya tetap sangat memuliakan mekanisme pasar. Campur tangan negara, walau pun diakui diperlukan, harus dibatasi sebagai pembuat peraturan dan sebagai pengaman bekerjanya mekanisme pasar. Karena ilmu ekonomi yang diajarkan pada hampir semua fakultas ekonomi di Indonesia dibangun di atas kerangka kapitalisme, maka sesungguhnya sulit dielakkan bila 99,9 persen ekonom Indonesia memiliki kecenderungan untuk menjadi penganut neoliberalisme. Wallahua’lambishawab. (Penulis adalah Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM)-

http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=198648&actmenu=45 (Kedaulatan Rakyat, 17 Mei 2009)
Baca Selengkapnya......

Rabu, 27 Mei 2009

Slogan "Perubahan" Obama Hanya Impian

Presiden AS, Barack Obama menentang penyebaran gambar aksi penyiksaan yang dilakukan oleh para intelijen CIA dan militer AS terhadap para tahanan teroris. Langkah Obama itu tentu saja membuktikan kembali sikap kontradiktifnya terhadap kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pemerintahan Bush. Sebelumnya, pengadilan naik banding Federal AS mengabulkan tuntutan sebuah LSM pembela kebebasan hak-hak sipil di AS (ACLU) untuk memublikasikan gambar penyiksaan para tahanan teroris yang dilakukan oleh militer AS. Putusan itu diambil sesuai dengan Undang-Undang Kebebasan Informasi. Menurut putusan pengadilan, rencananya gambar-gambar tersebut akan dipublikasikan 28 Juni nanti.


Namun, Jurubicara Gedung Putih Robert Gibbs menyatakan bahwa Obama melarang perilisan gambar-gambar semacam itu lantaran bisa membahayakan nasib para tentara AS di Irak dan Afghanistan. Sebelum ini pun, presiden AS membabaskan para anggota CIA yang terlibat dalam aksi penyiksaan terhadap para tahanan dari tuntutan hukum. Sebab menurut Obama, mereka hanya bawahan yang menjalankan tugas atasannya. Ia juga berdalih bahwa aksi penyiksaan terhadap para tahanan merupakan bagian dari masa lalu, dan kini sudah saatnya menatap ke masa depan.

Dengan mengusung slogan "perubahan", presiden kulit hitam pertama AS itu akhirnya lolos ke Gedung Putih. Karena itu, untuk memperbaiki kembali reputasi AS yang sudah tercoreng di mata masyarakat internasional, Obama berupaya menerapkan kebijakan yang bertujuan untuk meciptakan transparansi dan mengecam langkah pelanggaran HAM pemerintah AS di era Presiden Bush.

Salah satu misal dari kebijakan itu adalah keputusan untuk menutup penjara Guantanamo dan perilisan dokumen rahasia CIA soal penyiksaan para tahanan. Namun semua keputusan tersebut belum juga terealisasikan secara penuh bahkan sarat dengan pelbagai lika-liku dan keraguan.

Keraguan pertama, terkait soal langkah proses hukum terhadap kasus penyiksaan para tahanan di penjara Guantanamo, Kuba, penjara Abu Ghuraib, Irak, dan penjara Bagram, Afghanistan. Obama secara mengejutkan membebaskan para pelaku penyiksaan dari tuntutan hukum. Kini dalam aksi terbarunya, Obama akhirnya melarang juga pemublikasian gambar-gambar penyiksaan para tahanan.

Kalaupun kita mengakui alasan yang dipakai Obama dalam kedua masalah tersebut. Semestinya, tak ada satupun penjahat perang di Yugoslavia ataupun Rwanda diseret ke mahkamah pidana internasional. Sebab hal itu bisa mengancam stabilitas di negara-negara yang bersangkutan. Padahal maksud utama digelarnya pengadilan semacam itu, merupakan upaya agar kejadian brutal yang pernah terjadi tidak akan terulang lagi.

Tampaknya, setelah Obama lebih dari 100 hari menginjakkan kakinya di Gedung Putih, ia pun seperti presiden-presiden AS sebelumnya, yang berusaha menutup kasus penyiksaan brutal para tahanan yang dilakukan militer AS./Irb/sbl
Baca Selengkapnya......

SELAMAT DATANG

Blog ini merupakan blog komunitas bagi seluruh muslim Kalimantan.

Bagi yang ingin bergabung menjadi anggota komunitas ini, silakan masukkan pesan ke Buku Tamu beserta link blog anda.

Setelah melalui tahap verifikasi oleh admin, jika memenuhi syarat dan ketentuan, anda akan diterima menjadi anggota komunitas ini.

Anggota Komunitas Blogger Muslim Kalimantan tiap bulan diharuskan memuat minimal satu tulisan di blognya ke blog komunitas ini.

DOWNLOAD EBOOK BAHASA ARAB

DOWNLOAD EBOOK HADITS

DOWNLOAD EBOOK SERBA-SERBI ISLAM

DOWNLOAD EBOOK SIRAH NABAWIYAH

 

Hizbut Tahrir Indonesia

Era Muslim

Media Umat

Hidayatullah

Syabab

Sabili